MAKALAH KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
- LATAR BELAKANG
- Orde Lama-Kabinet Djuanda
Di
masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan
Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara
(Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua
orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada
Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat
tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak,
model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah
bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu
tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden.
Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock,
dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet
Djuanda.
- Operasi Budhi
Pada
1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah
menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi
Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku
korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktek korupsi dan kolusi.Lagi-lagi alasan politis menyebabkan
kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar
negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari
atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga
berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih
Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman
pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden
Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan
lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun
kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
- Orde Baru
Pada
masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967,
Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu
memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke
istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa
Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan
berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa,
seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto,
dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin,
PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.Empat tokoh bersih ini
jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina,
misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi
komite ini pun menjadi alasan utama kegagalan pemberantasan korupsi.
Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode
pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan
pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Bottom up berarti pemberantasan korupsi dilakukkan setelah adanya
laporan masyarakat atau aduan, sedangkan top down berarti
pemberantasan korupsi dilakukan dengan perintah atasan.
- Era Reformasi
Di
era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie
dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga
Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan
dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa
tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK,
sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
- DASAR HUKUM
- UU RI No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- STRUKTUR ORGANISASI
- KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada
tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman
Ruki, seorang alumni Akademi
Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di
bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan
dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain
untuk terciptanya jalannya sebuah "good
and clean governance"
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang
mantan Anggota DPR RI
dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten
mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa
pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses
yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai
teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi
masyarakat dan organisasi bisnis.Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki
digantikan oleh Antasari
Azhar sebagai Ketua KPK. Sekarang sejak Desember 2011, KPK
diketuai oleh Abraham Samad
- KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)
Kontroversi
Antasari Azhar saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan (2000-2007)yang gagal mengeksekusi Tommy Soeharto tidak
menghalangi pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil
mengungguli calon lainnya yaitu Chandra
M. Hamzah dengan memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara
yang dilangsungkan Komisi
III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK antara lain menangkap
Jaksa Urip
Tri Gunawan dan Artalyta
Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul
Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al
Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan
kawasan Hutan
lindungTanjung Pantai Air Telang, Sumatera
Selatan. Antasari juga berjasa menyeret Deputi Gubernur Bank
Indonesia (BI) Aulia Tantowi Pohan yang juga merupakan besan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono ke penjara atas kasus korupsi aliran dana
BI. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen membuat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009 memberhentikan
dari jabatannya sebagai ketua KPK.
- KPK di bawah Tumpak Hatorangan Panggabean (Pelaksana Tugas) (2009-2010)
Mantan
Komisaris PT Pos Indonesia, Tumpak Hatorangan Panggabean terpilih
menjadi pelaksana tugas sementara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)dan dilantik pada 6 Oktober 2009 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.Serta ditetapkan berdasarkan Perppu nomor 4 tahun 2009 yang
diterbitkan pada 21 September 2009.Pengangkatannya dilakukan untuk
mengisi kekosongan pimpinan KPK setelah ketua KPK Antasari Azhar
dinonaktifkan dan diberhentikan akibat tersangkut kasus pembunuhan
Nasrudin Zulkarnaen.Dibawah masanya memang KPK berhasil
menetapkan bekas Menteri
Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsyah sebagai
tersangka dalam kasus dugaan korupsi
pengadaan mesin jahit dan impor sapi. Selain itu, KPK
juga berhasil menetapkan Gubernur Kepulauan
Riau (Kepri), Ismet Abdullah sebagai tersangka kasus
dugaan korupsi pengadaan mobil kebakaran. Tapi beberapa kasus masih
mandek penanganannya, misalnya saja, kasus Bank
Century, membuat penilaian bahwa lembaga itu mulai
melempem.Pada tanggal 15 Maret 2010 beliau diberhentikan dengan
Keppres No. 33/P/2010 karena perpu ditolak oleh DPR.
- KPK di bawah Busyro Muqoddas (2010-2011)
M.
Busyro Muqoddas, S.H, M.Hum dilantik
dan diambil sumpah oleh Presiden RI pada 20
Desember 2010 sebagai ketua KPK menggantikan Antasari
Azhar. Sebelumnya, Busyro merupakan ketua merangkap
anggota Komisi
Yudisial RI periode 2005-2010. Pada saat sebagai ketua
sangat sering mengkritik DPR , yang terakhir terkait hedonisme para
anggota DPR. Pada pemilihan pimpinan KPK tanggal 2 Desember 2011
beliau "turun pangkat" menjadi waki ketua KPK. Busyro hanya
memperoleh 5 suara dibandingan Abraham Samad yang memperoleh 43
suara. Serah terima jabatan dan pelantikan dilaksanakan pada 17
Desember 2011.
- KPK di bawah Abraham Samad (2011-2015)
DR. Abraham
Samad SH. MH menggantikan Busyro
Muqoddas sebagai ketua KPK selanjutnya. Pada tanggal 3
Desember 2011 melalui voting pemilihan Ketua KPK oleh 56 orang dari
unsur pimpinan dan anggota Komisi III asal sembilan fraksi DPR,
Abraham mengalahkan Bambang Widjojanto dan Adnan
Pandu Praja. Abraham memperoleh 43 suara, Busyro Muqoddas 5
suara, Bambang Widjojanto 4 suara, Zulkarnain 4 suara, sedangkan
Adnan 1 suara. Ia dan jajaran pimpinan KPK yang baru saja terpilih,
resmi dilantik di Istana
Negara oleh Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011. Lima
pimpinan KPK periode 2011-2015 adalah Abraham Samad, Bambang
Widjodjanto, Zulkarnaen, Adnan Pandu Pradja, dan Busyro
Muqoddas. Beberapa kasus yang mencuat saat Abraham samad memimpin
adalah Kasus Korupsi Wisma Atlet, Kasus Korupsi Hambalang, Kasus
Gratifikasi Impor Daging Sapi, Kasus Gratifikasi SKK
Migas, Kasus Pengaturan Pilkada Kabupaten Lebak. Beberapa orang
yang ditangkap/ditahan/dituntut KPK diantaranya adalah: Andi
Malarangeng, Muhammad
Nazaruddin, Angelina
Sondakh, Anas
Urbaningrum, Akil
Mochtar, Ratu
Atut Chosiyah, Ahmad
Fathanah, Luthfi
Hasan Ishaq, Rudi
Rubiandini, dll.
- KASUS-KASUS YANG DIATASI
- Kasus Gayus Tambunan
Begitu
banyak kasus penyalah gunaan jabatan serta kasus pencucian uang, yang
secara umum disebut dengan korupsi terjadi di Indonesia. Korupsi
tidak mengenal jabatan, baik karyawan biasa hingga pejabat tinggi
negara bisa saja melakukan tindak kejahatan korupsi, korupsi juga
tidak mengenal instansi, korupsi dapat terjadi di instansi manapun
baik instansi negeri atau pemerintah maupun swasta.
Untuk
memenuhi tugas Aspek Hukum dalam Ekonomi, saya akan membahas mengenai
pelanggaran hukum dalam bidang ekonomi yaitu kasus korupsi yang
diketahui dilakukan oleh Pegawai Golongan III-A Kementrian Keuangan
Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan.
Dugaan
yang dituduhkan kepada Gayus
1) Mengenai
perbuatan mengurangi keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal
dengan total Rp 570.952.000 ,-
2) Gayus
terbukti menerima suap sebesar Rp 925.000.000 ,- dari Roberto
Santonius, konsultan pajak terkait dengan kepengurusan gugatan
keberatan pajak PT. Metropolitan Retailmart.
3) Pencucian
uang terkait dengan penyimpanan uang yang disimpan di safe deposit
box Bank Mandiri cabang Kelapa Gading serta beberapa rekening
lainnya.
4) Gayus
menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok,
serta kepala Rutan Iwan Susanto yang jumlahnya sebesar Rp 1.500.000
,- hingga Rp 4.000.000 ,-.
5) Gayus
memberikan keterangan palsu kepada Penyidik perihal uang sebesar Rp
24.600.000.000 didalam rekening tabungannya.
Potensi
kerugian yang ditanggung oleh Negara
Korupsi
yang dilakukan oleh Gayus Tambunan mengakibatkan negara harus
menanggung kerugian sebesar Rp 645,99 Milyar dan US $ 21,1 juta dan
dua wajib pahak yang terkait dengan sunset policy dengan potensi
kerugian sebesar Rp 339 Milyar.
Pasal
serta jeratan hukum yang menjerat kasus Gayus Tambunan
1) Pasal
18 UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
(TIPIKOR), dimana Gayus Tambunan diduga memperkaya diri sendiri dan
merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000 ,-, terkait
penanganan keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal Sidoarjo.
2) Pasal
5 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, dimana
Gayus Tambunan dituding melakukan penyuapan sebesar $ 760.000
terhadap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan
Mardiyani.
3) Pasal
6 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi karena Gayus
diketahui memberikan uang sebesar US $ 40.000 kepada Hakim Muhtadi
Asnus, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan
Negeri Tangerang.
4) Pasal
22 No.31 Tahun 1999 mengenai Undang – undang tidak pidana korupsi,
dimana gayus didakwa telah dengan sengaja memberi keterangan yang
tidak benar untuk kepentingan penyidikan.
Kronologi
kasus gayus
Pada
tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskim Mabes Polri menetapkan Gayus
sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SDPD). Dalam surat tersebut tersangka Gayus diduga
melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang dan penggelapan
dengan diketahuinya rekening sejumlah Rp 25 Milyar pada Bank Panin
cabang Jakarta milik Andi Kosasih pengusaha asal Batam yang
menggunakan jasa pihak kedua untuk melakukan penggandaan tanah, yang
setelah ditelusuri ternyata berkas tersebut belum lengkap.
Dalam
sidang di Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 12 Maret, Gayus
hanya dituntut satu tahun percobaan dan divonis bebas. Pada tanggal
24 Maret 2010, Gayus bersama 10 rekannya meninggalkan Indonesia
menuju Singapura. Tanggal 30 Maret 2010, polisi berhasil mengetahui
keberadaan Gayus di Singapura.
Pada
tanggal 31 Maret 2010, tim penyedik memeriksa tiga orang lainnya
selain Gayus Tambunan termasuk Bridgen Edmond Ilyas. Pada tanggal 7
April 2010, anggota III DPR mengetahui keterlibatan seorang Jenderal
Bintang Tiga yang ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak dengan
aliran dana sebesar Rp 24 Milyar.
Keputusan
sidang akhir kasus Gayus Tambunan
Keputusan
sidang akhir terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan oleh
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta adalah hukuman sebesar 8 tahun
penjara dan denda sebesar Rp 300.000.000 ,- dengan ketentuan apabila
denda tidak dapat dibayarkan maka akan ada penggantian berupa pidana
kurungan selama 3 bulan.
- Kasus Nazaruddin
LatarBelakang
Kasus
korupsi suap wisma atlet sangat menyita perhatian publik
(masyarakat). Hal ini dikarenakan para pelakunya adalah
petinggi di jajaran instansi pemerintahan dan anggota DPR. Pengusutan
Kasus wisma atlet ini berawaldari kasus proyek pembangunan jalan tol
tengah di Surabaya, JawaTimur. Dari perkara itulah dari hasil
pelacakan ditemukan adanya persengkongkolan dalam proyek pembangunan
wisma atlet di Palembang.Awal mula Tim KPK melakukan penyelidikan
proyek pembangunan wisma atlet tersebut, atas usulan deputi
penindakan KPK berdasarkan pengembangan dari proyek yang berada di
Surabaya.
Sesungguhnya
pengusutan Kasus Proyek Wisma Atlet itu berawal dari
ketidaksengajaan.Pada bulan Maret 2011 terkait kasus Jalan Tol di
Surabaya.Pada bulan itu di Surabaya memang tengah ramai kasus Proyek
Tol Tengah.Pada Proyek tersebut terjadi perseteruan antara DPRD Kota
Surabaya yang setuju pembangunan tol dan Walikota yang menolak
Pembangunan.Pada akhirnya perseteruan itu dimenangkan oleh DPRD Kota
Surabaya, proyek pembangunan jalan Tol tengah tersebut hampir
mencapai 5 Trilliun, dan bakal dibiayai perusahaan konsorsium.Dengan
tetap menggunakan nama PT.MJT, saham perusahaan dibagi menjadi:
PT.JasaMarga 55 %, PT.DGI 20 %, PT.PP 20 % danPT. Elnusa 5 %. PT DGI
yang ikutdalam proyek ini adalah perusahaan yang kini bermasalah
dalam kasus pembangunan wisma Atlet.
Diduga
ada permainan tender, maka sampailah sebuah informasi ke KPK terkait
permasalahan pembangunan proyek tersebut.Diduga kuat ada praktik
tidak sehat untuk melancarkan proyek tersebut dan dalam proses
tender. Kebetulan salah satu pejabat KPK yakni Deputi Penindakan Ade
Raharjamen dapat informasi tersebut, apalagi beliau sebelumnya
bertugas di kepolisian di Surabaya.Tidak aneh jikaNazaruddin, dalam
pernyataannya menuduh Ade Raharja sengaja mereka yasakasus dirinya.
KPK
mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada dugaan main mata antara
anggota DPRD dengansejumlah perusahaan yang ikut dalam tender proyek
tersebut.Berawal dari informasi tersebut, dimulailah pemantauan
terhadap beberapa politisi di DPRD, demikian juga dengan para
perusahaan yang terlibat, dan salah satunya PT DGI (Duta Graha
Indah).Selama jalannya pemantauan, KPK tidak cukup menemukan bukti
yang jelas terkait kasus jalan tol tengah Surabaya.Yang ada malah
secara tidak sengaja, KPK menemukan bahan lain, yakni terkait PT DGI
yang menjadi pemenang tender proyek Wisma Atlet Palembang.Ketika
diselidiki, ternyata ada dugaan proses yang tidak sehat, dan terdapat
deal-dealan dengan pihak tertentu untuk dapat meloloskan perusahaan
PT DGI sebagai pemenang tender.
Dari
situlah KPK mulai fokus dan secara intensif mengawasi para Pejabat PT
DGI, salah satunya Manajer Marketing M. EL Idris.Dan diketahui
El Idris melakukan beberapa kontak dengan sejumlah penyelenggara
Negara.
Setelah
intensif melakukan monitoring dan pengawasan terkait dugaan suap yang
merugikan Negara dan menjalarnya penyakit masyarakat yakni korupsi
dan penggelembungan dan aakhirnya membuahkan hasil. Setelah beberapa
kali terkecoh terkait transksi suap karena batal dilakukan, akhirnya
sampailah pada transaksioleh PT DGI (El Idrisdan Rosa) dengan
Sesmenpora Wafid Muharam.Tanggal 20 April KPK mencatat ada komunikasi
intens antar 2 pihak tersebut.
KPK
pun mulai bergerak, dan kedua pihak tertangkap basah sedang
bertransaksi.Saat penangkapan tidaka terjad iinsiden yang besar,
Wafid panik dan kemudian menyebar uang dimana-mana.Bahkan ce k dan
bebera uang sampai diberikan ke sopir dan ajudannya.ada pula uang
yang berserakan dilantai. Dari peristiwa penggerebekan transaksit
ersebutlah cerita tentang keterlibatan M. Nazaruddin muncul.
Selain
kasus wisma atlet, Nazaruddin jugadiduga terlibat sejumlah kasus
lain, antara lain kasus tindak pidana pencucian uang terkait
pembelian saham perdana PT Garuda Indoneisa (masih dalam penyidikan),
kasus Hambalang (penyelidikan), kasus pengadaan proyek wisma atlet
(penyelidikan), kasus korupsi wisma atlet SEA Games yang menjerat
Angelina Sondakh (penyidikan), pengadaan alat laboratorium di
sejumlahuniversitas (penyidikan), dan kasus proyek Revitalisasi
Sarana dan Prasarana Pendidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) di Kementerian
Pendidikan Nasional tahun anggaran 2007 (penyelidikan).
Penyelesaian
Jaksa
Penuntut Umum (JPU), pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
menuntut terdakwa perkara suap wisma atlet SEA GAMES, M Nazaruddin di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Jakarta, Mantan Bendahara
Umum Partai Demokrat itu dituntut hukuman 7 tahun penjara serta denda
Rp 300 juta subside enambulan.
- Kasus Angelina Sondakh
Latar
belakang
Anggota
DPR bernama Angelina Sondakh dijerat kasus hukum. KPK menduga anggota
komisi 10 DPR ini menerima suap terkait dengan proyek pembangunan
Wisma Atlet di Kemenpora. Dari pengembangan penyidikan KPK menemukan
indikasi suap tersebut juga terkait dengan pembahasan anggaran di
Kemendiknas tahun 2010. KPK pun menyangkakan Anggelina melanggar
pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 atau pasal 12 huruf a undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kasusnya
ini merupakan bagian dari rangkaian kasus korupsi dan suap menyuap
dalam proyek Wisma Atlet di Sumatera Selatan. Dugaan juga dikuatkan
dengan jumlah kekayaannya yang tidak sebanding dengan gajinya. Jaksa
penuntut umum Kresno Anton Wibowo pernah mengungkapkan ada
kejanggalan dari harta Angelina pada sidang penuntutannya.
Kejanggalan itu adalah setoran tunai sebesar Rp 2,520 miliar selama
2010. Uang itu sebagian dikirim melalui rekening asisten Angie, Lina
Wulandari, melalui Bank Mandiri.
Menurut
jaksa, setoran itu janggal karena dalam setahun pendapatan dari gaji
Angie hanya sebesar Rp 792 juta. Masalah gaji ini pun dinilai
janggal. Angelina mengaku bergaji Rp 50 juta. Padahal temuan jaksa,
gaji Angie hanya Rp 40 juta per bulan.
Tindakan
KPK
Pada
Februari 2013, Angelina kemudian didakwa dan dijatuhi hukuman 4,5
tahun penjara, namun baru masuk penjara KPK pada April 2013. Dalam
kelanjutannya, pada November 2013 Angelina kembali dipanggil ke
sidang terkait penambahan masa tahannanya dari 4,5 tahun menjadi 12
tahun. Selain itu Angelina Sondakh juga diwajibkan untuk
mengembalikan uang suap sebesar Rp12,58 miliar dan 2,35 juta USD yang
sebelumnya sudah dikantongi Angie. Apabila tidak dibayarkan, maka
Angie harus membayarnya dengan masa kurungan selama 5 tahun.
Hukuman
yang diterima Angie inipun terbilang cukup mengejutkan, namun banyak
pihak yang setuju akan hal ini. Pakar hukum Margarito misalnya, ia
menilai bahwa penambahan hukuman Angie adalah langkah yang tepat.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar